HIDUP seringkali terasa seperti sebuah peperangan yang sunyi.
Bukan melawan dunia luar, tapi melawan diri sendiri — pikiran yang bercabang, luka yang belum sembuh, harapan yang tak kunjung tiba.
Di tengah hiruk-pikuk pencapaian dan tuntutan zaman, kita lupa: bahwa perjuangan terbesar justru ada di dalam batin.
Dan kadang, perang itu tidak untuk dimenangkan… tapi untuk dipahami.
Dalam sunyi, suara hati berbicara — dan di sanalah dimulai sebuah dialog batin.
***
Ilham:
Kadang aku merasa lelah, Bah.
Seperti hidup ini perang yang tak kunjung usai.
Setiap hari… aku berperang dengan diriku sendiri.
Abah Rawi:
Memang begitu, Ham.
Tapi kau tahu?
Itu bukan perang untuk saling menaklukkan.
Itu perjalanan agar kau tumbuh… bukan untuk menang.
Ilham:
Tumbuh…? Tapi kenapa rasanya seperti kalah terus?
Setiap niat baik, selalu ada bayanganku sendiri yang menghambat.
Abah Rawi:
Karena musuhmu bukan orang asing.
Ia adalah ketakutanmu, egomu, keinginanmu untuk segera diakui.
Dan tak semua itu harus kau kalahkan.
Beberapa harus kau peluk… agar berubah menjadi kawan.
Ilham:
Jadi aku tak harus jadi sempurna?
Abah Rawi:
Tidak.
Tugasmu bukan menjadi sempurna.
Tugasmu adalah menjadi lebih baik dari dirimu yang kemarin.
Setiap luka, setiap gagal, bahkan setiap ragu — itu bagian dari tumbuh.
Bukan kalah.
Ilham:
Tapi kapan aku akan merasa damai, Bah?
Abah Rawi:
Saat kau berhenti ingin menang,
dan mulai ikhlas menjadi dirimu yang terus belajar.
Damai itu hadir… saat kau tak lagi berlari dari bayanganmu sendiri.
***
Kita tumbuh bukan dengan mengalahkan diri sendiri, tetapi dengan mengenalnya.
Dalam perjalanan batin yang panjang, kita belajar bahwa damai tidak datang dari kemenangan, melainkan dari penerimaan dan kesediaan untuk terus bertumbuh.
Menjadi versi terbaik dari diri kita bukanlah hasil akhir, melainkan proses harian — saat kita memilih untuk berdamai, belajar, dan melangkah…
…meski perlahan, asal tetap menuju cahaya.***
0 Komentar
Ayo Komen dan Diskusi