Perang yang Tidak Harus Dimenangkan

14.08
HIDUP seringkali terasa seperti sebuah peperangan yang sunyi.

Bukan melawan dunia luar, tapi melawan diri sendiri — pikiran yang bercabang, luka yang belum sembuh, harapan yang tak kunjung tiba.

Di tengah hiruk-pikuk pencapaian dan tuntutan zaman, kita lupa: bahwa perjuangan terbesar justru ada di dalam batin.
Dan kadang, perang itu tidak untuk dimenangkan… tapi untuk dipahami.

Dalam sunyi, suara hati berbicara — dan di sanalah dimulai sebuah dialog batin.

***

Ilham:
Kadang aku merasa lelah, Bah.
Seperti hidup ini perang yang tak kunjung usai.
Setiap hari… aku berperang dengan diriku sendiri.

Abah Rawi:
Memang begitu, Ham.
Tapi kau tahu?
Itu bukan perang untuk saling menaklukkan.
Itu perjalanan agar kau tumbuh… bukan untuk menang.

Ilham:
Tumbuh…? Tapi kenapa rasanya seperti kalah terus?
Setiap niat baik, selalu ada bayanganku sendiri yang menghambat.

Abah Rawi:
Karena musuhmu bukan orang asing.
Ia adalah ketakutanmu, egomu, keinginanmu untuk segera diakui.
Dan tak semua itu harus kau kalahkan.
Beberapa harus kau peluk… agar berubah menjadi kawan.

Ilham:
Jadi aku tak harus jadi sempurna?

Abah Rawi:
Tidak.
Tugasmu bukan menjadi sempurna.
Tugasmu adalah menjadi lebih baik dari dirimu yang kemarin.
Setiap luka, setiap gagal, bahkan setiap ragu — itu bagian dari tumbuh.
Bukan kalah.

Ilham:
Tapi kapan aku akan merasa damai, Bah?

Abah Rawi:
Saat kau berhenti ingin menang,
dan mulai ikhlas menjadi dirimu yang terus belajar.
Damai itu hadir… saat kau tak lagi berlari dari bayanganmu sendiri.

***

Kita tumbuh bukan dengan mengalahkan diri sendiri, tetapi dengan mengenalnya.
Dalam perjalanan batin yang panjang, kita belajar bahwa damai tidak datang dari kemenangan, melainkan dari penerimaan dan kesediaan untuk terus bertumbuh.

Menjadi versi terbaik dari diri kita bukanlah hasil akhir, melainkan proses harian — saat kita memilih untuk berdamai, belajar, dan melangkah…

…meski perlahan, asal tetap menuju cahaya.***

Pecel Lele Tipikor: Ketika Mimpi Rakyat Kecil Diseret ke Meja Hijau

12.24


SETIAP malam, di tikungan jalan kecil dekat stasiun itu, Pak Warno menggelar tenda birunya. Di atas meja lipat, ada cobek sambal yang aromanya bisa menghidupkan selera siapa pun yang lelah pulang kerja. Pecel lelenya gurih, sambalnya menyengat, dan nasinya hangat.

Tapi sejak Jumat lalu, ia tak lagi tenang saat membalik lele di atas wajan. Bukan karena minyak panas atau pengamen mabuk yang suka minta jatah makan. Tapi karena kabar dari Mahkamah Konstitusi: “Penjual pecel lele di trotoar bisa dijerat UU Tindak Pidana Korupsi.”

Pak Warno menatap wajan yang berasap. Lalu menatap anaknya yang duduk di dekat galon, mengerjakan PR dengan cahaya remang dari lampu tenda. Ia bertanya pelan, “Apa bapak sedang memperkaya diri secara melawan hukum, Nak?”

Anaknya tertawa. Ia tidak mengerti maksud bapaknya. Tapi Pak Warno tahu: negara bisa lebih serius mengejar sambal yang terlalu pedas daripada suap yang disembunyikan rapi dalam koper pejabat.

Hukum yang Menyesatkan Arah

Pernyataan itu datang dari seorang mantan Wakil Ketua KPK, Chandra Hamzah, dalam sidang uji materi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Katanya, frasa “setiap orang” terlalu luas. Maka, jika ditafsirkan secara ketat, Pak Warno—yang mencari makan di trotoar—bisa dianggap koruptor.

Korupsi, katanya, bukan lagi soal jabatan dan penyalahgunaan kekuasaan, tapi soal siapa saja yang "melawan hukum" dan "menguntungkan diri sendiri."
Dan jualan di trotoar? Itu dianggap merusak fasilitas negara. Merugikan negara. Maka... korupsi.

Logika yang sejuk seperti kuah kolak basi.

Rakyat Kecil yang Jadi Tersangka

Pak Warno tak paham hukum. Ia hanya tahu bahwa harga beras naik, listrik makin mahal, dan sewa kontrakan sudah tiga bulan nunggak. Ia tak pernah punya jabatan. Tak pernah tandatangan proyek. Tak pernah makan dari anggaran fiktif.

Yang ia punya hanya satu cobek sambal, dan satu meja makan yang penuh cerita.

Tapi hukum kini begitu lihai menyamar. Ia bisa masuk ke tenda lele, menyita sendok dan cobek, lalu berkata: "Anda melawan hukum karena berdagang di tempat umum."

Ironisnya, ketika rakyat kecil dijerat karena mengais hidup di trotoar, para koruptor asli bersantai di hotel bintang lima, menyewa pengacara lima layar penuh, dan menyusun pembelaan dari “kurangnya niat jahat.”

Negara yang Tak Lagi Melindungi

Anak Pak Warno bermimpi jadi polisi. Tapi malam ini ia ragu, “Kalau bapak ditangkap, siapa yang kasih saya makan?”

Negara boleh punya ribuan pasal dan ratusan jaksa, tapi selama hukum tak berpihak pada nurani, ia hanyalah alat kekuasaan untuk membungkam yang lemah dan membiarkan yang kuat tertawa.

Karena dalam negara hukum yang penuh multitafsir, mimpi rakyat kecil pun bisa dijadikan barang bukti.

Selamat datang di era baru: Pecel Lele Tipikor.

Dimakan bikin kenyang. Dijual bisa bikin masuk penjara.

Salah tempat, salah tafsir, salah nasib.

***

Jika Anda pernah makan di tenda pecel lele dan merasa kenyang tanpa rasa bersalah, mungkin Anda masih punya hati nurani. 

Bagikan tulisan ini. Untuk Pak Warno. Untuk semua warung tenda yang hanya ingin bertahan hidup.***

About Us

Recent

Random